Pengertian, Cara dan Contoh Meresensi Sebuah Buku Ilmu Pengetahuan
Oktober 18, 2015
Edit
Pembahasan kali ini adalah tentang pengertian meresensi buku pengetahuan, cara meresensi buku pengetahuan, contoh resensi buku ilmu pengetahuan, menulis resensi buku dan contoh resensi buku pengetahuan.
Tugas seorang penulis resensi adalah memberikan gambaran kepada pembaca mengenai suatu karya yang diresensinya apakah karya tersebut perlu mendapat sambutan atau tidak.
Jadi, seorang penulis resensi yang baik sangat membantu pembaca dalam menentukan pilihan. Selain itu, penulis resensi juga membantu penerbit atau pengarang untuk memperkenalkan suatu karya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam tulisan resensi adalah:
1. identitas buku,
2. tujuan pengarang buku atau karya,
3. tujuan penulisan resensi,
4. keunggulan buku atau karya,
5. kelemahan buku atau karya,
6. ikhtisar isi buku, dan
7. nilai buku atau karya.
Identitas buku yang perlu ditulis adalah:
1. judul buku,
2. penulis buku,
3. pengantar isi buku (bila ada),
4. penerbit buku,
5. tahun buku itu terbit, dan
6. tebal buku.
Judul : Bahasa, Sastra, dan Budi Darma (Kumpulan Esai)
Penulis : Budi Darma
Penerbit : JP Books
Cetakan : I, November 2007
Tebal : 242 halaman
Bila selama ini Budi Darma dikenal piawai menjungkirbalikkan tokoh-tokohnya dalam Olenka, Orang-Orang Blomington, dan prosa-prosanya yang lain.Tetapi di dalam buku ini, ia tampil sedikit berbeda.
Pembaca akan dibawa ke dalam kejernihan berpikir dan kerangka logika seseorang yang sudah sekian lama malang melintang menggauli bahasa, sastra sekaligus seni dan budaya.
Dari total 242 halaman yang berisi 15 esai Budi Darma, ada sebuah alinea yang menjadi titik berat pembacaan saya. Suatu faktor yang sering dilupakan dalam hampir semua aspek kehidupan adalah faktor intuisi, demikian pula dalam kreativitas.
Intuisi adalah bakat. Pendidikan atau latihan hanya bersifat menambah ketajaman intuisi (hal 109). Alenia ini terdapat pada esainya yang berjudul kritik Sastra dan Karya Sasra.
Berangkat dari pentingnya intuisi, maka dapat ditarik satu simpul. Bahwa titik berat sastra (seni) adalah penghayatan.Untuk ini dituntut kepekaan yang tinggi.
Seorang pelaku sastra (seni) akan mempunyai daya serap yang tinggi terhadap segala unsur kehidupan dengan penghayatan dan kepekaan. Karena di dalam unsur kehidupan itu terkandung realita.
Maka rasanya wajar bila Budi Darma menyamakan pekerja seni yang baik pada dasarnya juga intelektual yang baik. Karena proses kreatif seorang seniman ataupun seorang intelektual, sama-sama tidak pernah mencapai tanda titik. Selalu berada pada tanda koma atau tanda tanya.
Mereka selalu bergumul dalam proses mencari, belajar, dan terus berkembang. Di dalam pencarian, pembelajaraan, dan perkembangan itu, teori bukan lagi sekadar teori dalam arti formal. Dengan daya serap intuisi dan daya susun intelektual yang baik, maka sebuah teori bisa menciptakan teori baru.
Seperti itulah, sebuah karya sastra atau karya seni lainnya, juga bisa beranak pinak untuk melahirkan karya sastra atau karya seni lainnya.
Budi Darma bukan saja piawai mengupas teori tetapi juga lincah mengocok kata-kata. Pembaca tidak diajak begitu saja memasuki area abu-abu. Tidak sekadar menandai hitam atau putih.
Bukan hanya membaca kritik sastra atau karya sastra, kualitas atau popularitas, bentuk atau isi, matematika atau bahasa, ilmu atau seni, teori deduktif atau induktif, nilai intrinsik atau nilai ekstrinsik, objek atau subjek.
Yang selama ini menjadi perdebatan klasik dan klise dengan jawaban sebenarnya yang ituitu juga. Tetapi pembaca seakan juga diajak bermain egrang. Berusaha menimbangnimbang, mana yang mana, dari semua itu, di mana titik beratnya, untuk mendapatkan keseimbangan.
Budi Darma dalam buku ini mengatakan menulis itu sulit. Sedangkan Arswendo Atmowiloto menulis Mengarang itu Gampang. Lantas saya tidak bermaksud menyulit-nyulitkan Budi Darma atau menggampang-gampangkan Arswendo Atmowiloto.
Atau kemudian menyulitnyulitkan menulis dan menggampanggampangkan mengarang. Terlepas dari ada beberapa ejaan yang luput dari koreksi editor, secara keseluruhan, saya rasa buku ini memang perlu dibaca.
Bukan saja oleh para akademisi, guru-guru bahasa, para sastrawan, tetapi juga para peminat yang lain. Karena setelah membaca buku ini, kita akan tahu dari pisau bermata dua itu, matanya yang mana akan menikam dada yang sebelah mana.
Oleh: Lan Fang (Sumber: Kompas, 20 Januari 2008, dengan pengubahan)
Pengertian Resensi Buku
Resensi adalah ulasan atau pembicaraan mengenai suatu karya baik itu buku, film, atau karya yang lain.Tugas seorang penulis resensi adalah memberikan gambaran kepada pembaca mengenai suatu karya yang diresensinya apakah karya tersebut perlu mendapat sambutan atau tidak.
Jadi, seorang penulis resensi yang baik sangat membantu pembaca dalam menentukan pilihan. Selain itu, penulis resensi juga membantu penerbit atau pengarang untuk memperkenalkan suatu karya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam tulisan resensi adalah:
1. identitas buku,
2. tujuan pengarang buku atau karya,
3. tujuan penulisan resensi,
4. keunggulan buku atau karya,
5. kelemahan buku atau karya,
6. ikhtisar isi buku, dan
7. nilai buku atau karya.
Identitas buku yang perlu ditulis adalah:
1. judul buku,
2. penulis buku,
3. pengantar isi buku (bila ada),
4. penerbit buku,
5. tahun buku itu terbit, dan
6. tebal buku.
Contoh Resensi Buku Ilmu Pengetahuan
Meresensi Buku Pengetahuan |
Penulis : Budi Darma
Penerbit : JP Books
Cetakan : I, November 2007
Tebal : 242 halaman
Bila selama ini Budi Darma dikenal piawai menjungkirbalikkan tokoh-tokohnya dalam Olenka, Orang-Orang Blomington, dan prosa-prosanya yang lain.Tetapi di dalam buku ini, ia tampil sedikit berbeda.
Pembaca akan dibawa ke dalam kejernihan berpikir dan kerangka logika seseorang yang sudah sekian lama malang melintang menggauli bahasa, sastra sekaligus seni dan budaya.
Dari total 242 halaman yang berisi 15 esai Budi Darma, ada sebuah alinea yang menjadi titik berat pembacaan saya. Suatu faktor yang sering dilupakan dalam hampir semua aspek kehidupan adalah faktor intuisi, demikian pula dalam kreativitas.
Intuisi adalah bakat. Pendidikan atau latihan hanya bersifat menambah ketajaman intuisi (hal 109). Alenia ini terdapat pada esainya yang berjudul kritik Sastra dan Karya Sasra.
Berangkat dari pentingnya intuisi, maka dapat ditarik satu simpul. Bahwa titik berat sastra (seni) adalah penghayatan.Untuk ini dituntut kepekaan yang tinggi.
Seorang pelaku sastra (seni) akan mempunyai daya serap yang tinggi terhadap segala unsur kehidupan dengan penghayatan dan kepekaan. Karena di dalam unsur kehidupan itu terkandung realita.
Maka rasanya wajar bila Budi Darma menyamakan pekerja seni yang baik pada dasarnya juga intelektual yang baik. Karena proses kreatif seorang seniman ataupun seorang intelektual, sama-sama tidak pernah mencapai tanda titik. Selalu berada pada tanda koma atau tanda tanya.
Mereka selalu bergumul dalam proses mencari, belajar, dan terus berkembang. Di dalam pencarian, pembelajaraan, dan perkembangan itu, teori bukan lagi sekadar teori dalam arti formal. Dengan daya serap intuisi dan daya susun intelektual yang baik, maka sebuah teori bisa menciptakan teori baru.
Seperti itulah, sebuah karya sastra atau karya seni lainnya, juga bisa beranak pinak untuk melahirkan karya sastra atau karya seni lainnya.
Budi Darma bukan saja piawai mengupas teori tetapi juga lincah mengocok kata-kata. Pembaca tidak diajak begitu saja memasuki area abu-abu. Tidak sekadar menandai hitam atau putih.
Bukan hanya membaca kritik sastra atau karya sastra, kualitas atau popularitas, bentuk atau isi, matematika atau bahasa, ilmu atau seni, teori deduktif atau induktif, nilai intrinsik atau nilai ekstrinsik, objek atau subjek.
Yang selama ini menjadi perdebatan klasik dan klise dengan jawaban sebenarnya yang ituitu juga. Tetapi pembaca seakan juga diajak bermain egrang. Berusaha menimbangnimbang, mana yang mana, dari semua itu, di mana titik beratnya, untuk mendapatkan keseimbangan.
Budi Darma dalam buku ini mengatakan menulis itu sulit. Sedangkan Arswendo Atmowiloto menulis Mengarang itu Gampang. Lantas saya tidak bermaksud menyulit-nyulitkan Budi Darma atau menggampang-gampangkan Arswendo Atmowiloto.
Atau kemudian menyulitnyulitkan menulis dan menggampanggampangkan mengarang. Terlepas dari ada beberapa ejaan yang luput dari koreksi editor, secara keseluruhan, saya rasa buku ini memang perlu dibaca.
Bukan saja oleh para akademisi, guru-guru bahasa, para sastrawan, tetapi juga para peminat yang lain. Karena setelah membaca buku ini, kita akan tahu dari pisau bermata dua itu, matanya yang mana akan menikam dada yang sebelah mana.
Oleh: Lan Fang (Sumber: Kompas, 20 Januari 2008, dengan pengubahan)