Usaha Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia oleh Pemerintahan di Aceh
September 17, 2015
Edit
Usaha Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia oleh Pemerintahan di Aceh
Di Aceh, usaha mempertahankan kemerdekaan semula dipelopori oleh Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang dipimpin Syamaun Gaharu bersama dengan Abdul Hamid Samalanga, Husein Yusuf, Nyak Neh, Said Usman, Said Ali, dan lain-lain.
Susunan pengurus API ini kemudian menjadi cikal bakal TKR. Bersama rakyat mereka berhasil memperdaya tentara Jepang yang memang tengah frustasi.
Dengan mudah mereka melucuti senjata Jepang di Sigli (200 pucuk), Seulimeum (180 pucuk), Kutaraja (600 pucuk dengan granat, meriam, dan gudang senjata), Lhokseumawe (600 pucuk), dan Peukan Cunda (60 pucuk).
Senjata-senjata itu kemudian diserahkan kepada Residen Aceh Teuku Nya’Arif. Pada tanggal 3 Desember 1945 terjadi ketegangan antara uleebalang, ulama, dan tentara Jepang.
Pokok permasalahannya adalah soal rebutan senjata. Pihak Jepang tetap tidak mau menyerahkan senjata kepada uleebalang ataupun ulama.
Akhirnya, Komandan TKR Syamaun Gaharu datang ke Sigli tanggal 4 Desember 1945 untuk berunding. Tentara Jepang hanya mau berunding dan menyerahkan senjatanya kepada pihak pemerintah Republik Indonesia (TKR).
Senjata-senjata itu kemudian diangkut ke Kutaraja. Tanpa diduga dari arah Pidie dan Bambi datang 2.000-an rakyat bersenjatakan kelewang, tombak, rencong, dengan memakai tanda daun pucuk kelapa serta berseru ”sabilillah”.
Suasana menjadi panas setelah massa menahan Syamaun Gaharu yang dianggapnya menahan rakyat untuk masuk kota. Ia nyaris dibunuh oleh massa malam harinya.
Untung Tengku Abdurrakhman Peusangan (wakil ketua umum Persatuan Ulama Seluruh Aceh/ PUSA) datang untuk meyakinkan massa.
Selanjutnya, untuk melerai insiden yang lebih besar antara rakyat dengan tentara Jepang, Gubernur Sumatra Mr. Teuku Hassan datang dengan pengawalan TKR dari Bireun.
Perundingan diadakan antara kedua belah pihak dengan keputusan antara lain
Pemerintahan di Aceh.
Di Aceh, usaha mempertahankan kemerdekaan semula dipelopori oleh Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang dipimpin Syamaun Gaharu bersama dengan Abdul Hamid Samalanga, Husein Yusuf, Nyak Neh, Said Usman, Said Ali, dan lain-lain.
Susunan pengurus API ini kemudian menjadi cikal bakal TKR. Bersama rakyat mereka berhasil memperdaya tentara Jepang yang memang tengah frustasi.
Dengan mudah mereka melucuti senjata Jepang di Sigli (200 pucuk), Seulimeum (180 pucuk), Kutaraja (600 pucuk dengan granat, meriam, dan gudang senjata), Lhokseumawe (600 pucuk), dan Peukan Cunda (60 pucuk).
Senjata-senjata itu kemudian diserahkan kepada Residen Aceh Teuku Nya’Arif. Pada tanggal 3 Desember 1945 terjadi ketegangan antara uleebalang, ulama, dan tentara Jepang.
Pokok permasalahannya adalah soal rebutan senjata. Pihak Jepang tetap tidak mau menyerahkan senjata kepada uleebalang ataupun ulama.
Akhirnya, Komandan TKR Syamaun Gaharu datang ke Sigli tanggal 4 Desember 1945 untuk berunding. Tentara Jepang hanya mau berunding dan menyerahkan senjatanya kepada pihak pemerintah Republik Indonesia (TKR).
Foto: Icon Aceh |
Senjata-senjata itu kemudian diangkut ke Kutaraja. Tanpa diduga dari arah Pidie dan Bambi datang 2.000-an rakyat bersenjatakan kelewang, tombak, rencong, dengan memakai tanda daun pucuk kelapa serta berseru ”sabilillah”.
Suasana menjadi panas setelah massa menahan Syamaun Gaharu yang dianggapnya menahan rakyat untuk masuk kota. Ia nyaris dibunuh oleh massa malam harinya.
Untung Tengku Abdurrakhman Peusangan (wakil ketua umum Persatuan Ulama Seluruh Aceh/ PUSA) datang untuk meyakinkan massa.
Selanjutnya, untuk melerai insiden yang lebih besar antara rakyat dengan tentara Jepang, Gubernur Sumatra Mr. Teuku Hassan datang dengan pengawalan TKR dari Bireun.
Perundingan diadakan antara kedua belah pihak dengan keputusan antara lain
- senjata-senjata Jepang hanya boleh diserahkan kepada pemerintah daerah Aceh;
- tanggung jawab keamanan Kota Sigli tetap berada di tangan pemerintah yang sah, dijaga oleh TKR, polisi, dan alat-alat pemerintah yang lain;
- rakyat dan uleebalang meninggalkan Kota Sigli dan kembali ke kotanya masing-masing dan jika terjadi suatu insiden dalam pemulangan ini, kepada masing-masing pihak harus bertanggung jawab.
- Tentara Jepang pun meninggalkan Aceh tanggal 10 Desember 1945.