Latar Belakang Peristiwa G 30 S-PKI Terlengkap
September 29, 2015
Edit
Pembahasan kali ini adalah tentang latar belakang pemberontakan G 30 S/PKI, latar belakang terjadinya G 30 S-PKI, peristiwa G 30 S PKI, dan sejarah G 30 S PKI.
Pelan-pelan mereka mengadakan konsolidasi organisasi, mendidik para kader, dan mengadakan infiltrasi ke berbagai lembaga dan organisasi. Kamu tentu ingat usaha yang secara meyakinkan PKI bisa masuk empat besar kekuatan nasional dalam pemilu tahun 1955.
Usaha PKI untuk masuk dalam konstelasi politik nasional itu dipermudah dengan adanya gerakan separatisme DI/TII, PRRI/Permesta, dan pembubaran beberapa partai politik yang dianggap terlibat di dalam gerakan-gerakan tersebut.
Untuk memperkuat kedudukan dalam demokrasi terpimpin dan menumbangkan lawan-lawan politiknya, PKI menggunakan doktrin ”Pancasila = Nasakom” dalam berbagai kesempatan.
PKI-pun berusaha merapat di balik pengaruh Bung Karno dan berusaha menampilkan citra sebagai pendukung Bung Karno yang paling setia.
Fenomena menguatnya hubungan antara Presiden Ir. Soekarno dengan PKI itu tidak luput dari perhatian Angkatan Darat.
Dengan undang-undang keadaan bahaya, Angkatan Darat memang telah mengambil tindakan terhadap PKI yang dianggap menjalankan aksi sepihak dalam Peristiwa Tiga Selatan, yaitu di Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sumatra Selatan.
Namun, perintah penangkapan terhadap D.N. Aidit dan pelarangan surat kabar PKI ”Harian Rakyat” yang dikeluarkan Angkatan Darat itu justru ditentang oleh presiden.
Begitu pula saat Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) dan Penguasa Perang Daerah (Peparda) se-Indonesia mengadakan sidang pada bulan September 1960 di Istana Negara.
Saran pimpinan TNI dan para panglima kepada presiden agar jangan percaya terhadap keloyalan PKI baik atas pertimbangan ideologis maupun atas pengalaman-pengalaman yang telah lalu, pun tidak dihiraukan oleh presiden. Bahkan presiden menyalahkan sikap TNI dan melarang Peperda untuk terlibat dalam urusan politik.
Dengan pengaruh kebijakan presiden, PKI bisa terus melenggang dari hadangan Angkatan Darat dan semakin leluasa mempropagandakan langkah-langkah politiknya.
Menko/Wakil Ketua MPRS D.N. Aidit (yang juga ketua PKI), saat berceramah di depan Kursus Kader Revolusi Angkatan Dwikora tanggal 16 Oktober 1964 berkata bahwa apabila kita (Indonesia) telah mencapai taraf hidup adil dan makmur dan telah sampai kepada sosialisme Indonesia, kita tidak lagi membutuhkan Pancasila.
PKI pun menghantam lawan-lawan politiknya dengan pernyataan ”Anti-Nasakom = anti-Pancasila”. Kehidupan politik saat itu memang panas karena banyaknya isu, propaganda, hasutan, dan fitnah yang beredar di masyarakat.
Berbagai pertentangan dan konflik pun terjadi di antara kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat.
Wakil Sekretaris Jenderal Front Nasional yang juga anggota Comitte Central (CC) PKI Anwar Sanusi menggambarkan bahwa kita sekarang berada dalam situasi saat Ibu Pertiwi sedang hamil tua.
Inilah situasi yang melanda Indonesia pada pertengahan bulan September 1965. PKI yang semakin ofensif dan Angkatan Darat saling berhadapan.
Pernyataan dan kebijakan Presiden Ir. Soekarno pada masa demokrasi terpimpin tidak saja merangsang dan memberi peluang kepada PKI, tetapi juga menyudutkan TNI.
Sejak PKI berhasil menembus empat besar dalam pemilu tahun 1955, Bung Karno mulai menempatkan orang-orang PKI di berbagai lembaga bentukan pemerintah.
Misalnya dalam penyusunan DPR-GR, DPA, dan Front Nasional. Berdasar pengalaman tahun 1948, pimpinan TNI memang tidak percaya lagi kepada loyalitas dan kesetiaan PKI terhadap Pancasila, Undang- Undang Dasar, dan kekuasaan yang sah.
Namun, presiden menghargai PKI sebagai kekuatan yang mendukung konsepsi-konsepsi presiden sehingga harus diberi posisi yang memadai. Ide dasar Ir. Soekarno untuk mempersatukan seluruh potensi bangsa dapat dimanfaatkan secara baik oleh PKI.
Dalam kemelut tiga kekuatan politik yaitu PKI, Ir. Soekarno, dan Angkatan Darat itulah meletus Gerakan 30 September 1965/PKI.
Catatan: Kebenaran sejarah ini belum valid, tunggu update selanjutnya!
Pemberontakan G 30 S/PKI
Setelah direhabilitasi oleh pemerintah tahun 1950-an akibat gerakan PKI-Musso di Madiun, secara sistematis PKI mulai memasuki panggung politik nasional.Pelan-pelan mereka mengadakan konsolidasi organisasi, mendidik para kader, dan mengadakan infiltrasi ke berbagai lembaga dan organisasi. Kamu tentu ingat usaha yang secara meyakinkan PKI bisa masuk empat besar kekuatan nasional dalam pemilu tahun 1955.
Usaha PKI untuk masuk dalam konstelasi politik nasional itu dipermudah dengan adanya gerakan separatisme DI/TII, PRRI/Permesta, dan pembubaran beberapa partai politik yang dianggap terlibat di dalam gerakan-gerakan tersebut.
Untuk memperkuat kedudukan dalam demokrasi terpimpin dan menumbangkan lawan-lawan politiknya, PKI menggunakan doktrin ”Pancasila = Nasakom” dalam berbagai kesempatan.
PKI-pun berusaha merapat di balik pengaruh Bung Karno dan berusaha menampilkan citra sebagai pendukung Bung Karno yang paling setia.
Kondisi Indonesia Menjelang Pemberontakan G 30 S/PKI
Kronologi Peristiwa PKI |
Dengan undang-undang keadaan bahaya, Angkatan Darat memang telah mengambil tindakan terhadap PKI yang dianggap menjalankan aksi sepihak dalam Peristiwa Tiga Selatan, yaitu di Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sumatra Selatan.
Namun, perintah penangkapan terhadap D.N. Aidit dan pelarangan surat kabar PKI ”Harian Rakyat” yang dikeluarkan Angkatan Darat itu justru ditentang oleh presiden.
Begitu pula saat Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) dan Penguasa Perang Daerah (Peparda) se-Indonesia mengadakan sidang pada bulan September 1960 di Istana Negara.
Saran pimpinan TNI dan para panglima kepada presiden agar jangan percaya terhadap keloyalan PKI baik atas pertimbangan ideologis maupun atas pengalaman-pengalaman yang telah lalu, pun tidak dihiraukan oleh presiden. Bahkan presiden menyalahkan sikap TNI dan melarang Peperda untuk terlibat dalam urusan politik.
Dengan pengaruh kebijakan presiden, PKI bisa terus melenggang dari hadangan Angkatan Darat dan semakin leluasa mempropagandakan langkah-langkah politiknya.
Menko/Wakil Ketua MPRS D.N. Aidit (yang juga ketua PKI), saat berceramah di depan Kursus Kader Revolusi Angkatan Dwikora tanggal 16 Oktober 1964 berkata bahwa apabila kita (Indonesia) telah mencapai taraf hidup adil dan makmur dan telah sampai kepada sosialisme Indonesia, kita tidak lagi membutuhkan Pancasila.
PKI pun menghantam lawan-lawan politiknya dengan pernyataan ”Anti-Nasakom = anti-Pancasila”. Kehidupan politik saat itu memang panas karena banyaknya isu, propaganda, hasutan, dan fitnah yang beredar di masyarakat.
Berbagai pertentangan dan konflik pun terjadi di antara kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat.
Wakil Sekretaris Jenderal Front Nasional yang juga anggota Comitte Central (CC) PKI Anwar Sanusi menggambarkan bahwa kita sekarang berada dalam situasi saat Ibu Pertiwi sedang hamil tua.
Inilah situasi yang melanda Indonesia pada pertengahan bulan September 1965. PKI yang semakin ofensif dan Angkatan Darat saling berhadapan.
Pernyataan dan kebijakan Presiden Ir. Soekarno pada masa demokrasi terpimpin tidak saja merangsang dan memberi peluang kepada PKI, tetapi juga menyudutkan TNI.
Sejak PKI berhasil menembus empat besar dalam pemilu tahun 1955, Bung Karno mulai menempatkan orang-orang PKI di berbagai lembaga bentukan pemerintah.
Misalnya dalam penyusunan DPR-GR, DPA, dan Front Nasional. Berdasar pengalaman tahun 1948, pimpinan TNI memang tidak percaya lagi kepada loyalitas dan kesetiaan PKI terhadap Pancasila, Undang- Undang Dasar, dan kekuasaan yang sah.
Namun, presiden menghargai PKI sebagai kekuatan yang mendukung konsepsi-konsepsi presiden sehingga harus diberi posisi yang memadai. Ide dasar Ir. Soekarno untuk mempersatukan seluruh potensi bangsa dapat dimanfaatkan secara baik oleh PKI.
Dalam kemelut tiga kekuatan politik yaitu PKI, Ir. Soekarno, dan Angkatan Darat itulah meletus Gerakan 30 September 1965/PKI.
Catatan: Kebenaran sejarah ini belum valid, tunggu update selanjutnya!