Inkonsistensi Penerapan Prinsip-prinsip Otonomi Daerah
September 17, 2015
Edit
Tuntutan pemekaran daerah menjadi salah satu isu hangat yang muncul di tengah maraknya pelaksanaan otonomi daerah. Maraknya tuntutan pemekaran sendiri tidak lepas dari kebijakan otonomi daerah dari pemerintah pusat.
Terlebih, kenyataan bahwa otonomi daerah juga melibatkan distribusi dana dalam jumlah yang cukup besar juga telah membuat tuntutan ini semakin menarik.
Lebih jauh lagi, seperti yang termaktub dalam pasal 2, Peraturan Pemerintah No. 129/2000 disebutkan tujuan-tujuan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah.
Dalam pasal itu, dikatakan pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Hal ini dilakukan di antaranya melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat; percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah; peningkatan keamanan dan ketertiban; serta peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Di sisi lain, maraknya tuntutan pemekaran daerah pun tidak luput dari konflik, seperti konflik yang terjadi antara warga dan aparat keamanan di Kota Banggai, Kabupaten Bangkep, Sulawesi Tengah.
Bentrokan, 28 Februari 2007 yang menyebabkan empat orang tewas terjadi karena warga menolak pemindahan ibu kota kabupaten dari Banggai ke Salakan.
Dengan demikian, tuntutan pemekaran daerah merupakan hal yang harus dipertimbangkan dengan hati-hati, terutama berkaitan dengan dampak yang ditimbulkannya.
Otonomi daerah yang telah diatur dalam undangundang sejak 1999 pun dalam pelaksanaannya tidak luput dari masalah. Masalah yang paling akut adalah korupsi.
Masalah lain yang tidak kalah memprihatinkannya adalah PP Nomor 37/2006 yang menunjukkan ketidakpekaan para anggota DPRD, terutama berkaitan dengan rapel pemberian kenaikan tunjangan operasional dan komunikasi mereka di tengah berbagai krisis yang dialami masyarakat.
Kasus-kasus tersebut tidak hanya memprihatinkan, tetapi mengenaskan karena menunjukkan kegagalan otonomi daerah dan ketidaksiapan para pelakunya dalam menjalankan amanat yang digariskan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian, otonomi daerah maupun pemekaran daerah tidak selalu menjanjikan jalan yang terbaik dalam menyelesaikan permasalahan kesejahteraan rakyat di daerah. Masalah lain yang tidak kalah peliknya adalah masalah keamanan dan ketertiban.
Dengan kata lain, pemekaran daerah sebagai wujud dari penerapan demokrasi tetap tidak luput baik dari konflik horizontal antarwarga daerah pemekaran terkait, maupun konflik kepentingan yang melibatkan kelompok-kelompok elite, seperti dari kalangan politik maupun ekonomi yang berkepentingan atas daerah pemekaran yang bersangkutan.
Berlarut-larutnya masalah di daerah pemekaran juga tidak lepas dari kenyataan akan penerapan kebijakan otonomi daerah yang masih setengah hati. Hal ini terkait tidak hanya dengan pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah yang bersangkutan.
Menghangatnya isu pemekaran daerah juga terkait erat dengan penerapan kebijakan otonomi daerah yang rentan terhadap beberapa permasalahan dalam pelaksanaannya di lapangan, seperti konflik pilkada; korupsi; konflik horizontal antarwarga berkaitan dengan pemekaran; sampai dengan masalah inkonsistensi pemerintah pusat dalam mendelegasikan wewenang kepada pemerintah daerah.
Pada era reformasi dan demokratisasi, rasanya janggal jika pemerintah pusat masih mencampuri urusan pemerintah daerah.
Dua dilema yang dapat ditangkap dalam pelaksanaan otonomi daerah. Pertama, inkonsistensi pemerintah pusat dalam memberikan keleluasaan pemerintah daerah.
Kedua, kegagalan pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi otonomi daerah dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
Dilema pertama tidak lepas dari kekhawatiran pemerintah pusat terhadap kecenderungan pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan yang mengarah pada federalisme, dengan penerapan wewenang otonomi daerah yang leluasa.
Misalnya peraturan daerah yang mewajibkan zakat bagi pegawai negeri sipil yang dilakukan melalui pemotongan gaji; kebijakan dalam bidang perdagangan yang eksklusif; masalah pembagian keuangan pemerintah pusat dan daerah dengan proporsi yang kontroversial.
Pada satu sisi, penerapan kebijakan otonomi daerah diarahkan tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Akan tetapi, di sisi lain disadari atau tidak keinginan pemerintah pusat untuk mencampuri urusan penyelenggaraan daerah menjadi indikator yang tidak kondusif bagi konsistensi penerapan otonomi daerah di Indonesia.
Pada sisi lain, pemerintah daerah merasakan adanya inkonsistensi dalam penerapan wewenang yang mereka miliki.
Dikutip secara bebas dari artikel Adinda Tenriangke Muchtar dalam www.kemitraan.or.id
Terlebih, kenyataan bahwa otonomi daerah juga melibatkan distribusi dana dalam jumlah yang cukup besar juga telah membuat tuntutan ini semakin menarik.
Undang-undang otonomi daerah
Undang-Undang No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa pemekaran bisa dilakukan jika memenuhi tiga syarat, yaitu teknis, wilayah, dan administratif.Lebih jauh lagi, seperti yang termaktub dalam pasal 2, Peraturan Pemerintah No. 129/2000 disebutkan tujuan-tujuan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah.
Dalam pasal itu, dikatakan pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Hal ini dilakukan di antaranya melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat; percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah; peningkatan keamanan dan ketertiban; serta peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Otonomi Daerah |
Bentrokan, 28 Februari 2007 yang menyebabkan empat orang tewas terjadi karena warga menolak pemindahan ibu kota kabupaten dari Banggai ke Salakan.
Dengan demikian, tuntutan pemekaran daerah merupakan hal yang harus dipertimbangkan dengan hati-hati, terutama berkaitan dengan dampak yang ditimbulkannya.
Otonomi daerah yang telah diatur dalam undangundang sejak 1999 pun dalam pelaksanaannya tidak luput dari masalah. Masalah yang paling akut adalah korupsi.
Masalah lain yang tidak kalah memprihatinkannya adalah PP Nomor 37/2006 yang menunjukkan ketidakpekaan para anggota DPRD, terutama berkaitan dengan rapel pemberian kenaikan tunjangan operasional dan komunikasi mereka di tengah berbagai krisis yang dialami masyarakat.
Kasus-kasus tersebut tidak hanya memprihatinkan, tetapi mengenaskan karena menunjukkan kegagalan otonomi daerah dan ketidaksiapan para pelakunya dalam menjalankan amanat yang digariskan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian, otonomi daerah maupun pemekaran daerah tidak selalu menjanjikan jalan yang terbaik dalam menyelesaikan permasalahan kesejahteraan rakyat di daerah. Masalah lain yang tidak kalah peliknya adalah masalah keamanan dan ketertiban.
Dengan kata lain, pemekaran daerah sebagai wujud dari penerapan demokrasi tetap tidak luput baik dari konflik horizontal antarwarga daerah pemekaran terkait, maupun konflik kepentingan yang melibatkan kelompok-kelompok elite, seperti dari kalangan politik maupun ekonomi yang berkepentingan atas daerah pemekaran yang bersangkutan.
Berlarut-larutnya masalah di daerah pemekaran juga tidak lepas dari kenyataan akan penerapan kebijakan otonomi daerah yang masih setengah hati. Hal ini terkait tidak hanya dengan pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah yang bersangkutan.
Menghangatnya isu pemekaran daerah juga terkait erat dengan penerapan kebijakan otonomi daerah yang rentan terhadap beberapa permasalahan dalam pelaksanaannya di lapangan, seperti konflik pilkada; korupsi; konflik horizontal antarwarga berkaitan dengan pemekaran; sampai dengan masalah inkonsistensi pemerintah pusat dalam mendelegasikan wewenang kepada pemerintah daerah.
Pada era reformasi dan demokratisasi, rasanya janggal jika pemerintah pusat masih mencampuri urusan pemerintah daerah.
Dua dilema yang dapat ditangkap dalam pelaksanaan otonomi daerah. Pertama, inkonsistensi pemerintah pusat dalam memberikan keleluasaan pemerintah daerah.
Kedua, kegagalan pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi otonomi daerah dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
Dilema pertama tidak lepas dari kekhawatiran pemerintah pusat terhadap kecenderungan pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan yang mengarah pada federalisme, dengan penerapan wewenang otonomi daerah yang leluasa.
Misalnya peraturan daerah yang mewajibkan zakat bagi pegawai negeri sipil yang dilakukan melalui pemotongan gaji; kebijakan dalam bidang perdagangan yang eksklusif; masalah pembagian keuangan pemerintah pusat dan daerah dengan proporsi yang kontroversial.
Pada satu sisi, penerapan kebijakan otonomi daerah diarahkan tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Akan tetapi, di sisi lain disadari atau tidak keinginan pemerintah pusat untuk mencampuri urusan penyelenggaraan daerah menjadi indikator yang tidak kondusif bagi konsistensi penerapan otonomi daerah di Indonesia.
Pada sisi lain, pemerintah daerah merasakan adanya inkonsistensi dalam penerapan wewenang yang mereka miliki.
Dikutip secara bebas dari artikel Adinda Tenriangke Muchtar dalam www.kemitraan.or.id