Dampak Konflik dan Pergolakan Indonesia tahun 1960-an di Bidang Ideologis
September 17, 2015
Edit
Konflik yang terjadi di Indonesia antara tahun 1955 sesaat setalah pemilu Indonesia yang pertama dan dekrit presiden sampai tahun 1960-an juga berdampak di bidang ideologis.
Dari sinilah ia mulai menggagas demokrasi terpimpin. Hal ini antara lain beliau suarakan dalam konsepsinya yang ia sampaikan pada tanggal 21 Februari 1957.
Presiden berpendapat bahwa sistem demokrasi parlementer secara Barat tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia sehingga harus diganti dengan sistem demokrasi terpimpin.
Ide presiden itu menimbulkan perdebatan di masyarakat dan di DPR. Moh. Natsir dan para pemimpin Masyumi menentang gagasan itu.
Salah satu alasannya bahwa mengubah sistem pemerintahan dan susunan ketatanegaraan secara radikal seperti itu adalah wewenang Konstituante.
PNI dan NU bersikap ambivalen. Sementara itu, PKI yang mencoba mencari perlindungan, mendukung gagasan presiden tersebut.
Kaum komunis saat itu memang dimusuhi oleh pihak tentara dan partaipartai lainnya. Kedekatan antara Ir. Soekarno dengan PKI ini tidak luput dari perhatian lawan-lawan politiknya.
Pada bulan September dan Oktober 1957, Kolonel Simbolon (PRRI), Kolonel Sumual (Permesta), dan Kolonel Lubis dengan diikuti para perwira lainnya mengadakan pertemuan di Sumatra.
Ada tiga rumusan yang dihasilkan.
1) Diadakannya pemilihan umum untuk memilih seorang presiden baru untuk menghentikan aktivitas Ir. Soekarno yang pro-PKI.
2) Perlunya penggantian A.H. Nasution beserta stafnya dari struktur kemiliteran di pusat.
3) Dilarangnya PKI.
Sementara itu, Masyumi yang sejak awal menentang demokrasi terpimpin menyelenggarakan Muktamar Ulama se-Indonesia di Palembang pada bulan September 1957.
Salah satu hasil muktamar menyatakan bahwa komunisme adalah haram bagi kaum muslim dan PKI harus dilarang.
Demikianlah, persaingan ideologis terjadi antara kaum komunis dengan kaum agamis, yang semakin lama semakin meruncing dan mempengaruhi kehidupan politik nasional.
Pertentangan di antara kedua ideologi itu bahkan membuat persidangan Konstituante menjadi macet. Ketegangan politik pun melanda pusat pemerintahan di Jakarta.
Itulah berbagai contoh, situasi kehidupan politik baik yang terjadi di tingkat pusat maupun yang terjadi di daerah sebagai dampak munculnya pergolakan-pergolakan sosial politik.
Konflik politik dan militer yang terjadi antara satu kekuatan dengan kekuatan yang lain membuat kehidupan politik semakin panas. Ketegangan bahkan teror pun menghantui rakyat.
Itulah salah satu sisi negatif dari diterapkannya demokrasi terpimpin dengan tokoh sentral Presiden Ir. Soekarno. Partai politik yang didekati atau mendapat perlindungan presiden akan leluasa menjalankan misi politiknya.
Dampak Persaingan Ideologis
Saat berpidato di depan sidang DPR, Presiden Ir. Soekarno menginginkan adanya demokrasi ala Indonesia, yang lebih didasarkan atas mufakat daripada demokrasi Barat yang cenderung memecah belah dengan ciri khas persaingan antara pemerintah dan oposisi.Dari sinilah ia mulai menggagas demokrasi terpimpin. Hal ini antara lain beliau suarakan dalam konsepsinya yang ia sampaikan pada tanggal 21 Februari 1957.
Presiden berpendapat bahwa sistem demokrasi parlementer secara Barat tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia sehingga harus diganti dengan sistem demokrasi terpimpin.
Ide presiden itu menimbulkan perdebatan di masyarakat dan di DPR. Moh. Natsir dan para pemimpin Masyumi menentang gagasan itu.
Foto: Mohammad Natsir |
Salah satu alasannya bahwa mengubah sistem pemerintahan dan susunan ketatanegaraan secara radikal seperti itu adalah wewenang Konstituante.
PNI dan NU bersikap ambivalen. Sementara itu, PKI yang mencoba mencari perlindungan, mendukung gagasan presiden tersebut.
Kaum komunis saat itu memang dimusuhi oleh pihak tentara dan partaipartai lainnya. Kedekatan antara Ir. Soekarno dengan PKI ini tidak luput dari perhatian lawan-lawan politiknya.
Pada bulan September dan Oktober 1957, Kolonel Simbolon (PRRI), Kolonel Sumual (Permesta), dan Kolonel Lubis dengan diikuti para perwira lainnya mengadakan pertemuan di Sumatra.
Ada tiga rumusan yang dihasilkan.
1) Diadakannya pemilihan umum untuk memilih seorang presiden baru untuk menghentikan aktivitas Ir. Soekarno yang pro-PKI.
2) Perlunya penggantian A.H. Nasution beserta stafnya dari struktur kemiliteran di pusat.
3) Dilarangnya PKI.
Sementara itu, Masyumi yang sejak awal menentang demokrasi terpimpin menyelenggarakan Muktamar Ulama se-Indonesia di Palembang pada bulan September 1957.
Salah satu hasil muktamar menyatakan bahwa komunisme adalah haram bagi kaum muslim dan PKI harus dilarang.
Demikianlah, persaingan ideologis terjadi antara kaum komunis dengan kaum agamis, yang semakin lama semakin meruncing dan mempengaruhi kehidupan politik nasional.
Pertentangan di antara kedua ideologi itu bahkan membuat persidangan Konstituante menjadi macet. Ketegangan politik pun melanda pusat pemerintahan di Jakarta.
Itulah berbagai contoh, situasi kehidupan politik baik yang terjadi di tingkat pusat maupun yang terjadi di daerah sebagai dampak munculnya pergolakan-pergolakan sosial politik.
Konflik politik dan militer yang terjadi antara satu kekuatan dengan kekuatan yang lain membuat kehidupan politik semakin panas. Ketegangan bahkan teror pun menghantui rakyat.
Itulah salah satu sisi negatif dari diterapkannya demokrasi terpimpin dengan tokoh sentral Presiden Ir. Soekarno. Partai politik yang didekati atau mendapat perlindungan presiden akan leluasa menjalankan misi politiknya.