Perlawanan Menentang Kolonialisme dan Imperialisme Barat di Indonesia sebelum abad ke-18
Juli 02, 2015
Edit
Pendudukan bangsa barat di Indonesia dengan berbagai kebijakan yang dibuatnya telah menimbulkan ketidaknyamanan bagi penduduk asli Indonesia.
Sehingga memancing timbulnya penentangan dari berbgai pihak. Pada pembahasan kali ini akan dijelaskan tentang berbagai perlawanan oleh penduduk sebelum abad ke-18.
Jatuhnya Malaka ke pihak Portugis sangat merugikan jaringan perdagangan para pedagang Islam dari Kepulauan Indonesia.
Solidaritas sesama pedagang Islam terbangun saat Malaka jatuh ke pihak Portugis. Kerajaan Aceh, Palembang, Banten, Johor, dan Demak bersekutu untuk menghadapi Portugis di Malaka.
Pada tahun 1513, Demak mengadakan penyerangan terhadap Portugis di Malaka. Penyerangan tersebut dipimpin oleh Adipati Unus, putra Raden Patah.
Namun karena faktor jarak yang begitu jauh dan peralatan perang yang kurang seimbang serta strategi perang kurang jitu, penyerangan tidak berhasil.
Dipati Unus atau Yunus adalah putra Raden Patah, penguasa Kerajaan Demak di Jawa. Dipati Unus mendapat sebutan “Pangeran Sabrang Lor“ karena jasanya memimpin armada laut Demak dalam penyerangan ke Malaka. Pemerintahan Pangeran Sabrang Lor tidak berlangsung lama, dari tahun 1518 – 1521.
Pada tahun 1527, Fatahillah mengadakan penyerangan terhadap Portugis di Sunda Kelapa. Serangan tersebut berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa.
Selanjutnya pada tanggal 22 Juni 1527 nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta atau Jakarta yang berarti kemenangan yang sempurna.
Fatahillah diangkat oleh Sultan Trenggono sebagai wakil Sultan Demak yang memerintah di Banten dan Jayakarta. Fatahillah dilahirkan sekitar tahun 1490 di Pasai, Sumatra Utara.
Nama lain Fatahillah adalah Falatehan, Fadhilah Khan, Ratu Bagus Pase, dan Ratu Sunda Kelapa. Ayahnya bernama Maulana Makhdar Ibrahim selaku guru agama Islam di Pasai kelahiran Gujarat, India Selatan.
Rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Hairun melakukan perlawanan. Rakyat menyerang dan membakar benteng-benteng Portugis. Portugis kewalahan menghadapi perlawanan tersebut.
Dengan kekuatan yang lemah, tentu saja Portugis tidak mampu menghadapi perlawanan. Oleh karena itu, pada tahun 1570 dengan licik Portugis menawarkan tipu perdamaian.
Sehari setelah sumpah ditandatangani, de Mosquito mengundang Sultan Hairun untuk menghadiri pesta perdamaian di benteng. Tanpa curiga Sultan Hairun hadir, dan kemudian dibunuh oleh kaki tangan Portugis.
Peristiwa ini menimbulkan kemarahan besar bagi rakyat Maluku dan terutama Sultan Baabullah, anak Sultan Hairun. Bersama rakyat, Sultan Baabullah bertekad menggempur Portugis.
Pasukan Sultan Baabullah memusatkan penyerangan untuk mengepung benteng Portugis di Ternate. Lima tahun lamanya Portugis mampu bertahan di dalam benteng yang akhirnya menyerah pada tahun 1575 karena kehabisan bekal. Kemudian Portugis melarikan diri ke Timor Timur.
Bersambung .... (1, 2, 3)
Sehingga memancing timbulnya penentangan dari berbgai pihak. Pada pembahasan kali ini akan dijelaskan tentang berbagai perlawanan oleh penduduk sebelum abad ke-18.
a. Dipati Unus (1518 – 1521)
Hanya kurang lebih satu tahun setelah kedatangan Portugis di Malaka (1511), perlawanan terhadap dominasi Barat mulai muncul.Jatuhnya Malaka ke pihak Portugis sangat merugikan jaringan perdagangan para pedagang Islam dari Kepulauan Indonesia.
Solidaritas sesama pedagang Islam terbangun saat Malaka jatuh ke pihak Portugis. Kerajaan Aceh, Palembang, Banten, Johor, dan Demak bersekutu untuk menghadapi Portugis di Malaka.
Pada tahun 1513, Demak mengadakan penyerangan terhadap Portugis di Malaka. Penyerangan tersebut dipimpin oleh Adipati Unus, putra Raden Patah.
Namun karena faktor jarak yang begitu jauh dan peralatan perang yang kurang seimbang serta strategi perang kurang jitu, penyerangan tidak berhasil.
Dipati Unus atau Yunus adalah putra Raden Patah, penguasa Kerajaan Demak di Jawa. Dipati Unus mendapat sebutan “Pangeran Sabrang Lor“ karena jasanya memimpin armada laut Demak dalam penyerangan ke Malaka. Pemerintahan Pangeran Sabrang Lor tidak berlangsung lama, dari tahun 1518 – 1521.
b. Panglima Fatahillah (1527 – 1570)
Dalam rangka memperluas ekspansinya ke daerah Barat, Demak mengirim Fatahillah untuk menggagalkan rencana kerja sama antara Portugis dan Pajajaran.Pada tahun 1527, Fatahillah mengadakan penyerangan terhadap Portugis di Sunda Kelapa. Serangan tersebut berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa.
Selanjutnya pada tanggal 22 Juni 1527 nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta atau Jakarta yang berarti kemenangan yang sempurna.
Fatahillah diangkat oleh Sultan Trenggono sebagai wakil Sultan Demak yang memerintah di Banten dan Jayakarta. Fatahillah dilahirkan sekitar tahun 1490 di Pasai, Sumatra Utara.
Nama lain Fatahillah adalah Falatehan, Fadhilah Khan, Ratu Bagus Pase, dan Ratu Sunda Kelapa. Ayahnya bernama Maulana Makhdar Ibrahim selaku guru agama Islam di Pasai kelahiran Gujarat, India Selatan.
Gambar: Sultan Baabullah |
c . Sultan Baabullah (1570 – 1583)
Raja Ternate yang sangat gigih melawan Portugis adalah Sultan Hairun yang bersifat sangat anti-Portugis. Beliau dengan tegas menentang usaha Portugis untuk melakukan monopoli perdagangan di Ternate.Rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Hairun melakukan perlawanan. Rakyat menyerang dan membakar benteng-benteng Portugis. Portugis kewalahan menghadapi perlawanan tersebut.
Dengan kekuatan yang lemah, tentu saja Portugis tidak mampu menghadapi perlawanan. Oleh karena itu, pada tahun 1570 dengan licik Portugis menawarkan tipu perdamaian.
Sehari setelah sumpah ditandatangani, de Mosquito mengundang Sultan Hairun untuk menghadiri pesta perdamaian di benteng. Tanpa curiga Sultan Hairun hadir, dan kemudian dibunuh oleh kaki tangan Portugis.
Peristiwa ini menimbulkan kemarahan besar bagi rakyat Maluku dan terutama Sultan Baabullah, anak Sultan Hairun. Bersama rakyat, Sultan Baabullah bertekad menggempur Portugis.
Pasukan Sultan Baabullah memusatkan penyerangan untuk mengepung benteng Portugis di Ternate. Lima tahun lamanya Portugis mampu bertahan di dalam benteng yang akhirnya menyerah pada tahun 1575 karena kehabisan bekal. Kemudian Portugis melarikan diri ke Timor Timur.
Bersambung .... (1, 2, 3)