Sejarah Kerajaan Cirebon Dan Banten Lengkap
Juni 05, 2015
Edit
Kerajaan Cirebon dan Banten merupakan salah satu kerajaan Islam Indonesia yang sempat menyumbangkan pengaruhnya terhadap perkembangan ajaran Islam di Indonesia.
Kehadiran Syarif Hidayatullah yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati di Cirebon perlahan mengubah agama dan kebudayaan masyarakat yang tinggal di sana.
Hingga akhirnya, pada masa Kerajaan Demak, Sunan Gunung Jati memisahkan Cirebon dari Kerajaan Pajajaran dan menyatakan Cirebon sebagai wilayah bagian dari kekuasaan Demak.
Karena perkembangan Kerajaan Demak yang terus diliputi oleh konflik berdarah, Sunan Gunung Jati melepaskan wilayah Cirebon, Jayakarta, dan Banten dari kekuasaan Demak.
Menjelang wafatnya, Sunan Gunung Jati menyerahkan wilayah Banten dan Jayakarta untuk diurus oleh putranya yang bernama Hasanuddin, sementara wilayah Cirebon diserahkan pada putranya yang lain, yakni Panembahan Ratu.
Panembahan Ratu wafat dan digantikan oleh putranya, Panembahan Giri Laya. Setelah Panembahan Giri Laya wafat, Kerajaan Cirebon terpecah menjadi dua, yakni Kasepuhan dan Kanoman.
Di Banten, Hasanuddin berhasil mengembangkan kawasan tersebut menjadi pusat perdagangan baru. Setelah Hasanuddin wafat pada tahun 1570, Banten dipimpin oleh Panembahan Yusuf.
Pada masa pemerintahan Panembahan Yusuf, Banten mampu menguasai seluruh wilayah Jawa Barat dan menghabisi kekuasaan Kerajaan Pajajaran di kawasan selatan.
Dengan jatuhnya Pakuan ibu kota Kerajaan Pajajaran ke tangan Banten, kawasan pedalaman Jawa Barat yang semula masih menganut Hindu mulai terbuka dan perlahan beralih menjadi Islam.
Masa pemerintahan Panembahan Yusuf adalah masa gemilang bagi persebaran agama Islam di Jawa Barat. Panembahan Yusuf wafat pada 1580, dan digantikan putranya yang bernama Maulana Muhammad.
Pada masa pemerintahannya, wilayah Banten meluas hingga ke Lampung dan Sumatra Selatan, sehingga Banten mendominasi jalur perdagangan di Selat Sunda. Karena ingin lebih memperluas wilayah kekuasaannya, pada tahun 1627 Maulana Muhammad menyerang Palembang.
Dalam pertempuran tersebut Maulana Muhammad terbunuh. Wafatnya Maulana Muhammad meninggalkan masalah karena putra mahkota, yakni Pangeran Abdul Mufakkir masih berusia 5 bulan.
Akhirnya, pemerintahan dijalankan oleh Pangeran Ranamenggala sebagai wali Sultan Abdul Mufakkir hingga dewasa dan mampu memerintah sendiri.
Di tengah masa pemerintahannya datang delegasi pedagang Belanda yang dipimpin oleh Cornelius de Houtman. Cornelius de Houtman meminta agar persatuan pedagang Belanda (VOC) diberi izin untuk mengatur perdagangan rempah-rempah di Banten.
Sultan Abdul Mufakkir menolak permintaan tersebut secara halus. Pada tahun 1651, Sultan Abdul Mufakkir digantikan oleh cucunya, Sultan Ageng Tirtayasa.
Berbeda dengan kakeknya, Sultan Ageng Tirtayasa bersikap lebih keras terhadap para pedagang Eropa yang menurutnya tidak tahu tata krama.
Tercatat bahwa pada masa pemerintahannya, kapal-kapal dagang Eropa dilarang berlabuh di Pelabuhan Banten. Walau begitu, Banten tetap menjadi pusat perdagangan yang dikunjungi para pedagang Asia.
Pada saat tersebut, VOC telah menguasai Jayakarta. Mereka mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia. Karena lebih sering mengurusi masalah luar negeri, maka Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putranya, Pangeran Anom, yang diberi gelar Sultan Haji untuk mengurusi masalah dalam negeri.
Keadaan ini dimanfaatkan oleh VOC. Pada tahun 1680, VOC berhasil menghasut Sultan Haji untuk memberontak kepada ayahnya. Maka, pecahlah perang saudara antara tentara Banten yang setia pada Sultan Ageng Tirtayasa dengan tentara Sultan Haji yang dibantu VOC.
Sultan Ageng Tirtayasa yang semakin terdesak ke pedalaman berhasil ditangkap pada tahun 1683. Sultan Ageng Tirtayasa ditawan di Batavia hingga wafat pada tahun 1692. Setelah itu, Sultan Haji berkuasa menggantikan Sultan Ageng Tirtayasa.
Namun, kekuasaan Sultan Haji tetap dalam kendali VOC. Sejak itu, riwayat Banten sebagai negara yang berdaulat pun berakhir.
Sejarah Cirebon dan banten
Pada awal masa perkembangan Islam di Pulau Jawa, Cirebon dan Banten merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran, kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa.Kehadiran Syarif Hidayatullah yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati di Cirebon perlahan mengubah agama dan kebudayaan masyarakat yang tinggal di sana.
Hingga akhirnya, pada masa Kerajaan Demak, Sunan Gunung Jati memisahkan Cirebon dari Kerajaan Pajajaran dan menyatakan Cirebon sebagai wilayah bagian dari kekuasaan Demak.
Karena perkembangan Kerajaan Demak yang terus diliputi oleh konflik berdarah, Sunan Gunung Jati melepaskan wilayah Cirebon, Jayakarta, dan Banten dari kekuasaan Demak.
Menjelang wafatnya, Sunan Gunung Jati menyerahkan wilayah Banten dan Jayakarta untuk diurus oleh putranya yang bernama Hasanuddin, sementara wilayah Cirebon diserahkan pada putranya yang lain, yakni Panembahan Ratu.
Panembahan Ratu wafat dan digantikan oleh putranya, Panembahan Giri Laya. Setelah Panembahan Giri Laya wafat, Kerajaan Cirebon terpecah menjadi dua, yakni Kasepuhan dan Kanoman.
Di Banten, Hasanuddin berhasil mengembangkan kawasan tersebut menjadi pusat perdagangan baru. Setelah Hasanuddin wafat pada tahun 1570, Banten dipimpin oleh Panembahan Yusuf.
Pada masa pemerintahan Panembahan Yusuf, Banten mampu menguasai seluruh wilayah Jawa Barat dan menghabisi kekuasaan Kerajaan Pajajaran di kawasan selatan.
Gambar: Peninggalan kerjaan banten (masjid Agung Banten) |
Dengan jatuhnya Pakuan ibu kota Kerajaan Pajajaran ke tangan Banten, kawasan pedalaman Jawa Barat yang semula masih menganut Hindu mulai terbuka dan perlahan beralih menjadi Islam.
Masa pemerintahan Panembahan Yusuf adalah masa gemilang bagi persebaran agama Islam di Jawa Barat. Panembahan Yusuf wafat pada 1580, dan digantikan putranya yang bernama Maulana Muhammad.
Pada masa pemerintahannya, wilayah Banten meluas hingga ke Lampung dan Sumatra Selatan, sehingga Banten mendominasi jalur perdagangan di Selat Sunda. Karena ingin lebih memperluas wilayah kekuasaannya, pada tahun 1627 Maulana Muhammad menyerang Palembang.
Dalam pertempuran tersebut Maulana Muhammad terbunuh. Wafatnya Maulana Muhammad meninggalkan masalah karena putra mahkota, yakni Pangeran Abdul Mufakkir masih berusia 5 bulan.
Akhirnya, pemerintahan dijalankan oleh Pangeran Ranamenggala sebagai wali Sultan Abdul Mufakkir hingga dewasa dan mampu memerintah sendiri.
Di tengah masa pemerintahannya datang delegasi pedagang Belanda yang dipimpin oleh Cornelius de Houtman. Cornelius de Houtman meminta agar persatuan pedagang Belanda (VOC) diberi izin untuk mengatur perdagangan rempah-rempah di Banten.
Sultan Abdul Mufakkir menolak permintaan tersebut secara halus. Pada tahun 1651, Sultan Abdul Mufakkir digantikan oleh cucunya, Sultan Ageng Tirtayasa.
Berbeda dengan kakeknya, Sultan Ageng Tirtayasa bersikap lebih keras terhadap para pedagang Eropa yang menurutnya tidak tahu tata krama.
Tercatat bahwa pada masa pemerintahannya, kapal-kapal dagang Eropa dilarang berlabuh di Pelabuhan Banten. Walau begitu, Banten tetap menjadi pusat perdagangan yang dikunjungi para pedagang Asia.
Pada saat tersebut, VOC telah menguasai Jayakarta. Mereka mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia. Karena lebih sering mengurusi masalah luar negeri, maka Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putranya, Pangeran Anom, yang diberi gelar Sultan Haji untuk mengurusi masalah dalam negeri.
Keadaan ini dimanfaatkan oleh VOC. Pada tahun 1680, VOC berhasil menghasut Sultan Haji untuk memberontak kepada ayahnya. Maka, pecahlah perang saudara antara tentara Banten yang setia pada Sultan Ageng Tirtayasa dengan tentara Sultan Haji yang dibantu VOC.
Sultan Ageng Tirtayasa yang semakin terdesak ke pedalaman berhasil ditangkap pada tahun 1683. Sultan Ageng Tirtayasa ditawan di Batavia hingga wafat pada tahun 1692. Setelah itu, Sultan Haji berkuasa menggantikan Sultan Ageng Tirtayasa.
Namun, kekuasaan Sultan Haji tetap dalam kendali VOC. Sejak itu, riwayat Banten sebagai negara yang berdaulat pun berakhir.