3 Tokoh Penentang Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel)
Juni 06, 2015
Edit
Aturan tanam paksa yang diterapkan oleh Van den Bosch ternyata juga menimbulkan pertentangan dari kalangan mereka sendiri, siapa sajakah mereka?
Pelaksanaan sistem tanam paksa yang menyengsarakan masyarakat akhirnya mendapat kritikan dari berbagai pihak.
Dalam bukunya, Multatuli mengemukakan keadaan pemerintahan kolonial yang zalim dan korup di Jawa. Buku itu menjadi senjata bagi kaum liberal untuk melancarkan protes atas pelaksanaan tanam paksa.
a. Pada tahun 1860, penghapusan tanam paksa lada.
b. Pada tahun 1865, penghapusan tanam paksa untuk teh dan nila.
c. Pada tahun 1870, hampir semua jenis tanam paksa telah dihapuskan.
Setelah dihapuskannya tanam paksa, kaum pengusaha swasta leluasa mengatur tanah jajahan demi keuntungan pribadi.
UU Agraria Tahun 1870 membuka jalan bagi pihak swasta untuk menanamkan modalnya di Indonesia sehingga banyak investor swasta asing, seperti Inggris, Belgia, Prancis, Amerika Serikat, Cina, dan Jepang yang menanamkan modalnya di Indonesia.
Dengan demikian, perkebunan di Indonesia meningkat dengan pesat. Akan tetapi, sistem ini pun tidak lebih baik dibanding sistem sebelumnya. Sistem ekonomi terbuka telah mematikan para pengusaha pribumi yang memiliki modal kecil.
Misalnya, pada tahun 1881 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Undang-Undang Koelie Ordonantie yang mengatur para kuli.
Dengan aturan ini, kuli yang dipekerjakan di Sumatra harus melalui kontrak kerja. Tidak boleh meninggalkan pekerjaan sebelum kontraknya habis. Bagi yang melarikan diri dikenakan hukuman berupa punale sanctie.
Sistem tersebut diterapkan untuk mendukung program penanaman modal Barat di Indonesia dengan cara menyediakan sarana dan prasarana, seperti irigasi, wadukwaduk, jalan raya, jalan kereta, dan pelabuhan-pelabuhan.
Dalam membangun sarana-sarana tersebut, pemerintah kolonial Belanda menggunakan tenaga kerja Indonesia tanpa upah, serta dikerahkan secara paksa.
Berbagai kebijakan pemerintah kolonial telah melahirkan penderitaan bagi rakyat Indonesia. Di daerah kerajaan, ajakan perlawanan dari para bangsawan maupun ulama yang berpengaruh untuk melawan kekuasaan asing dengan cepat mendapat sambutan baik dari kelompok rakyat, yang karena tekanan-tekanan hidup yang mereka alami sudah bersikap antipati terhadap kekuasaan asing.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi di daerahdaerah selama kontak dengan kekuasaan Barat cukup subur untuk timbulnya perjuangan tersebut.
Oleh karena dalam tiap-tiap daerah konvensi intensitas kontak dari kekuasaan Belanda tidak bersamaan waktu terjadinya, maka timbulnya perjuangan terhadap kekuasaan asingpun tidak sama
waktunya.
Perjuangan-perjuangan itu bisa berupa perlawanan besar, atau pemberontakan maupun hanya merupakan kericuhan-kericuhan.
Pelaksanaan sistem tanam paksa yang menyengsarakan masyarakat akhirnya mendapat kritikan dari berbagai pihak.
Tokoh-tokoh penentang Tanam paksa (cultuurstelsel)
Tokoh-tokoh penentang tanam paksa di antaranya adalah sebagai berikut.1) E.F.E. Douwes Dekker (Multatuli)
Lewat bukunya yang berjudul Max Havelaar. Akibat kritikan Douwes Dekker atau yang dikenal dengan nama Multatuli, Belanda mengganti politik tanam paksa dengan politik pintu terbuka.Dalam bukunya, Multatuli mengemukakan keadaan pemerintahan kolonial yang zalim dan korup di Jawa. Buku itu menjadi senjata bagi kaum liberal untuk melancarkan protes atas pelaksanaan tanam paksa.
2) Baron van Hoevell
Baron van Hoevell adalah mantan pendeta yang menyaksikan sendiri penderitaan rakyat akibat tanam paksa. Baron van Hoevell membela rakyat Indonesia melalui pidato-pidatonya di DPR Nederland.3) Fransen van der Putte
Fransen van der Putte yang menulis Suiker Contracten. Hasil dari perdebatan di parlemen Belanda adalah dihapuskannya cultuurstelsel secara bertahap mulai tanaman yang paling tidak laku sampai dengan tanaman yang laku keras di pasaran Eropa.Penghapusan sistem tanam paksa
Secara berangsur-angsur penghapusan sistem tanam paksa atau cultuurstelsel adalah sebagai berikut.a. Pada tahun 1860, penghapusan tanam paksa lada.
b. Pada tahun 1865, penghapusan tanam paksa untuk teh dan nila.
c. Pada tahun 1870, hampir semua jenis tanam paksa telah dihapuskan.
Setelah dihapuskannya tanam paksa, kaum pengusaha swasta leluasa mengatur tanah jajahan demi keuntungan pribadi.
UU Agraria Tahun 1870 membuka jalan bagi pihak swasta untuk menanamkan modalnya di Indonesia sehingga banyak investor swasta asing, seperti Inggris, Belgia, Prancis, Amerika Serikat, Cina, dan Jepang yang menanamkan modalnya di Indonesia.
Dengan demikian, perkebunan di Indonesia meningkat dengan pesat. Akan tetapi, sistem ini pun tidak lebih baik dibanding sistem sebelumnya. Sistem ekonomi terbuka telah mematikan para pengusaha pribumi yang memiliki modal kecil.
Undang-Undang Koelie Ordonantie
Sistem yang buruk tersebut dibiarkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Bahkan, pemerintah kolonial mengeluarkan aturan yang merugikan kaum buruh pribumi.Misalnya, pada tahun 1881 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Undang-Undang Koelie Ordonantie yang mengatur para kuli.
Dengan aturan ini, kuli yang dipekerjakan di Sumatra harus melalui kontrak kerja. Tidak boleh meninggalkan pekerjaan sebelum kontraknya habis. Bagi yang melarikan diri dikenakan hukuman berupa punale sanctie.
Gambar: Sistem Kerja Rodi |
Kerja Rodi (kerja paksa)
Penderitaan bangsa Indonesia bertambah buruk setelah pemerintah kolonial memberlakukan sistem rodi alias kerja paksa.Sistem tersebut diterapkan untuk mendukung program penanaman modal Barat di Indonesia dengan cara menyediakan sarana dan prasarana, seperti irigasi, wadukwaduk, jalan raya, jalan kereta, dan pelabuhan-pelabuhan.
Dalam membangun sarana-sarana tersebut, pemerintah kolonial Belanda menggunakan tenaga kerja Indonesia tanpa upah, serta dikerahkan secara paksa.
Berbagai kebijakan pemerintah kolonial telah melahirkan penderitaan bagi rakyat Indonesia. Di daerah kerajaan, ajakan perlawanan dari para bangsawan maupun ulama yang berpengaruh untuk melawan kekuasaan asing dengan cepat mendapat sambutan baik dari kelompok rakyat, yang karena tekanan-tekanan hidup yang mereka alami sudah bersikap antipati terhadap kekuasaan asing.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi di daerahdaerah selama kontak dengan kekuasaan Barat cukup subur untuk timbulnya perjuangan tersebut.
Oleh karena dalam tiap-tiap daerah konvensi intensitas kontak dari kekuasaan Belanda tidak bersamaan waktu terjadinya, maka timbulnya perjuangan terhadap kekuasaan asingpun tidak sama
waktunya.
Perjuangan-perjuangan itu bisa berupa perlawanan besar, atau pemberontakan maupun hanya merupakan kericuhan-kericuhan.