Perang Ambarawa dan Insiden Kidobutai
September 16, 2015
Edit
Pembahasan kali ini adalah tentang beberapa kejadian di daerah dalam upaya perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, yaitu peristiwa perang Ambarawa atau palagan ambarawa dan Insiden Kidobutai yang terjadi sesaat setelah peristiwa perobekan bendera di hotel Yamato.
Bahkan tentara Sekutu yang dipimpin Brigjen Bethel itu mendapat bantuan dari Gubernur Wongsonegoro.
Ketegangan antara TKR dan Brigadir Bethel terjadi setelah tiga opsir Inggris dari Gurkha tertembak di Pandanaran. \
Pertempuran pun meletus ketika tentara Sekutu dan NICA membebaskan secara sepihak para interniran Belanda di Magelang pada tanggal 31 Oktober 1945.
Panglima Besar Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Purwokerto memerintahkan sebuah tim untuk meninjau front pertempuran.
Tim terdiri atas Gatot Subroto (Staf Divisi Purwokerto), Mayor Abimanyu (Staf Divisi Purwokerto), Letkol Isdiman (Komandan Resimen I/Purwokerto), dan Kapten Surono (ajudan Resimen I/Purwokerto).
Mereka kemudian mengadakan koordinasi dengan Divisi Sutarto dari Surakarta, Divisi Jatikusuno dari Semarang, Divisi Umar Slamet dari Yogyakarta.
Siasat yang digunakan untuk mengusir Sekutu dari Ambarawa adalah Nijptang atau menjepit seperti supit udang, secara serentak tanggal 12 Desember 1945.
Empat hari kemudian strategi ini berhasil mengusir Sekutu dari Ambarawa hingga mereka mundur ke Semarang.
Mereka kemudian bergabung dengan Kidobutai (batalion Jepang di bawah Mayor Kido) dan melakukan perlawanan.
Ketegangan semakin meningkat setelah terdengar isu bahwa cadangan air minum di Candi telah diracuni, apalagi delapan polisi Indonesia yang menjaga tempat cadangan air minum tersebut dilucuti oleh orang-orang Jepang.
Perang pun pecah tanggal 15 Oktober 1945. Dua ribu pasukan Jepang dihadapi oleh TKR dan rakyat. Pertempuran paling seru terjadi di Simpang Lima dan baru reda tanggal 20 Oktober 1945 setelah tentara Sekutu datang dan melucuti tentara Jepang.
Perang itu sendiri makan korban dua ribu rakyat Indonesia (di antaranya dr. Karyadi, Kepala Laboratorium Pusat Rumah Sakit Rakyat/ Purusara) dan seratus orang Jepang.
Insiden Ambarawa
Pendaratan pasukan Sekutu juga memancing meletusnya insiden Ambarawa. Semula pasukan disambut baik karena berniat mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang berada di Jawa Tengah.Bahkan tentara Sekutu yang dipimpin Brigjen Bethel itu mendapat bantuan dari Gubernur Wongsonegoro.
Ketegangan antara TKR dan Brigadir Bethel terjadi setelah tiga opsir Inggris dari Gurkha tertembak di Pandanaran. \
Pertempuran pun meletus ketika tentara Sekutu dan NICA membebaskan secara sepihak para interniran Belanda di Magelang pada tanggal 31 Oktober 1945.
Panglima Besar Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Purwokerto memerintahkan sebuah tim untuk meninjau front pertempuran.
Foto: Panglima Besar Jendral Soedirman |
Tim terdiri atas Gatot Subroto (Staf Divisi Purwokerto), Mayor Abimanyu (Staf Divisi Purwokerto), Letkol Isdiman (Komandan Resimen I/Purwokerto), dan Kapten Surono (ajudan Resimen I/Purwokerto).
Mereka kemudian mengadakan koordinasi dengan Divisi Sutarto dari Surakarta, Divisi Jatikusuno dari Semarang, Divisi Umar Slamet dari Yogyakarta.
Siasat yang digunakan untuk mengusir Sekutu dari Ambarawa adalah Nijptang atau menjepit seperti supit udang, secara serentak tanggal 12 Desember 1945.
Empat hari kemudian strategi ini berhasil mengusir Sekutu dari Ambarawa hingga mereka mundur ke Semarang.
Insiden Kidobutai
”Insiden Kidobutai” terjadi di Semarang. Mulanya, sekitar empat ratus veteran AL Jepang yang dipekerjakan untuk mengubah pabrik gula Cepiring menjadi pabrik senjata, memberontak, dan menyerang polisi Indonesia yang mengawal kepindahan mereka ke Semarang.Mereka kemudian bergabung dengan Kidobutai (batalion Jepang di bawah Mayor Kido) dan melakukan perlawanan.
Ketegangan semakin meningkat setelah terdengar isu bahwa cadangan air minum di Candi telah diracuni, apalagi delapan polisi Indonesia yang menjaga tempat cadangan air minum tersebut dilucuti oleh orang-orang Jepang.
Perang pun pecah tanggal 15 Oktober 1945. Dua ribu pasukan Jepang dihadapi oleh TKR dan rakyat. Pertempuran paling seru terjadi di Simpang Lima dan baru reda tanggal 20 Oktober 1945 setelah tentara Sekutu datang dan melucuti tentara Jepang.
Perang itu sendiri makan korban dua ribu rakyat Indonesia (di antaranya dr. Karyadi, Kepala Laboratorium Pusat Rumah Sakit Rakyat/ Purusara) dan seratus orang Jepang.